Jumat, 20 Oktober 2017

Pendidikan Karakter Dalam Teori Pendidikan Ki Hajar Dewantoro

Dunia pendidikan kini telah banyak terbius oleh berbagai ajaran-ajaran maupun dogma-dogma dari luar negeri yang diajarkan baik dalam pendidikan formal, non-formal maupun informal. Kita tidak menyadari bahwa banyak dogma ataupun ajaran tersebut tidak sesuai dengan budaya negeri ini. Padahal negeri kita telah memiliki sejumlah tokoh pengajar dan pendidik yang luar biasa, salah satunya adalah pengajaran bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.
Bila dicermati, berbagai persoalan sosial yang terjadi sekarang adalah akibat lemahnya sikap toleransi antar sesama masyarakat, menurunnya wibawa pemerintah karena berbagai kebijakannya yang dianggap tidak pro rakyat. Melemahnya peranan norma dalam mengatur ketertiban masyarakat hingga ketidak percayaan terhadap hukum. Semuanya itu memunculkan berbagai perilaku perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku lain yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama.
Apa yang salah dengan pendidikan sehingga setelah lebih dari enam puluh tahun Indonesia merdeka, pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang tumbuhnya bangsa yang berkarakter? Selama masalah pendidikan dibiarkan mengelinding bebas, sehingga siapapun boleh dan berhak mengulas masalah pendidikan dengan versinya masing-masing tanpa landasan falsafah yang memadai, maka potret pendidikan kita akan semakin carut-marut. Itulah sebabnya maka kajian tentang pandangan tokoh pendidikan kita (Ki Hadjar Dewantara) terhadap persoalan pendidikan karakter menjadi sesuatu yang penting untuk ditelaah. Pandangan Ki Hadjar Dewantara yang akan ditelaah dalam artikel ini meliputi; tri pusat pendidikan karakter, teori Trikon sebagai rujukan pendidikan karakter, asas dan dasar pendidikan karakter, sistem pendidikan karakter, dan corak & cara pendidikan karakter.

Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.  

Ki Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter. Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa: 1977: 24).
Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa; Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12). Sedang yang dimaksud adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi.
Dengan demikian pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.

Pendidikan Karakter melalui Tri Pusat Pendidikan
Dalam proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hadjar Dewantara memandang adanya tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Semua ini disebut “Tripusat Pendidikan”. Tripusat Pendidikan mengakui adanya pusat-pusat pendidikan yaitu; 1) Pendidikan di lingkungan keluarga, 2) Pendidikan di lingkungan perguruan, dan 3) Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda. Tripusat Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter seseorang.
Alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Sejak timbul adab kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti atau karakter dari tiap-tiap manusia. Alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Alam kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.  
Ketiga lingkungan pendidikan tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya, sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan. Hubungan sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati, agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pamong sebagai pimpinan harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, berada di tengah memberi semangat, berada di depan menjadi teladan.

Teori Trikon sebagai rujukan pendidikan karakter
Selain tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengemukakan ajaran Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
a.      Dasar Kontinuitas
Dasar kontinuitas berarti bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya continue, bersambung tak putus-putus. Dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan, garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putus dari garis asalnya. Loncatan putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan dari garis hidup asalnya, yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru dari perkembangan sendiri maupun dari luar. Jadi kontinuitas dapat diartikan bahwa dalam mengembangkan dan membina karakter bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri.
b.      Dasar Konsentris
Dasar konsentris berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya unsur-unsur yang dapat memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan saja yang dapat diambil dan diterima, setelah dicerna dan disesuaikan dengan kepribadian bangsa. Hal ini merekomendasikan bahwa pembentukan karakter harus berakar pada budaya bangsa, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar yang baik dan selaras dengan budaya bangsa.
c.       Dasar Konvergensi
Dasar konvergensi mempunyai arti bahwa dalam membina karakter bangsa, bersama-sama bangsa lain diusahakan terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan umat sedunia (konvergen), tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa masing-masing. Kekhususan kebudayaan bangsa Indonesia tidak harus ditiadakan, demi membangun kebudayaan dunia.
Dalam mengembangkan karakter dan membina kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus memiliki dan membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang masuk, harus bersikap terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak menghilangkan identitas sendiri.

Sistem Pendidikan
Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani (MLPTS, 1992: 19-20).
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha berarti memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo, 1989: 47). Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung makna, sebagai among atau pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai “central figure” bagi siswa.
b. Ing Madya Mangun Karsa
Mangun karsa berarti membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.
c. Tutwuri Handayani
Tutwuri berarti mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative, possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang. Sedangkan handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya.
Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara juga merupakan warisan luhur yang patut diimplementasikan dalam perwujudan masyarakat yang berkarakter. Jika para pendidik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter, semua kita tentu akan terus mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatan. Sebab dengan keteladanan itu maka karakter religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.
Begitu pula jika kita sadar bahwa berkembangnya karakter peserta didik memerlukan dorongan dan arahan pendidik, sebagai pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi motivator yang baik. Sebab dengan dorongan dan arahan pendidik maka karakter kreatif, mandiri, menghargi prestasi, dan pemberani peserta didik akan terbentuk dengan baik.
Corak dan Cara Pendidikan
Corak dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. Corak pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik fisik sebagai akibat banyaknya perbedaan.
Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya sebagai “peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat banyak, tetapi terdapat beberapa cara yng patut diperhatikan, yaitu
a. Memberi contoh (voorbeelt)
b. Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming)
c. Pengajaran (wulang-wuruk)
d. Laku (zelfbeheersching)
e. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1977: 28).

Cara pendidikan yang disebutkan di atas sangatlah tepat untuk membangun karakter anak bangsa. Pemberian contoh yang disertai dengan pembiasaan sangatlah tepat untuk menanamkan karakter pada peserta didik. Begitu juga pengajaran (wulang-wuruk) yang disertai contoh tindakan (laku) akan mempermudah peserta didik dalam menginternalisasi nilai-nilai positif, sebagai bentuk perwujudan karakter. Apalagi disempurnakan dengan pengalaman lahir dan batin maka menjadi sempurnalah karakter peserta didik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar