Dunia pendidikan kini telah banyak terbius oleh
berbagai ajaran-ajaran maupun dogma-dogma dari luar negeri yang diajarkan baik
dalam pendidikan formal, non-formal maupun informal. Kita tidak menyadari bahwa
banyak dogma ataupun ajaran tersebut tidak sesuai dengan budaya negeri ini.
Padahal negeri kita telah memiliki sejumlah tokoh pengajar dan pendidik yang
luar biasa, salah satunya adalah pengajaran bapak pendidikan kita, Ki Hajar
Dewantara.
Bila dicermati, berbagai persoalan sosial yang terjadi
sekarang adalah akibat lemahnya sikap toleransi antar sesama masyarakat,
menurunnya wibawa pemerintah karena berbagai kebijakannya yang dianggap tidak
pro rakyat. Melemahnya peranan norma dalam mengatur ketertiban masyarakat
hingga ketidak percayaan terhadap hukum. Semuanya itu memunculkan berbagai
perilaku perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku
lain yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama.
Apa yang salah dengan pendidikan sehingga setelah
lebih dari enam puluh tahun Indonesia merdeka, pendidikan nasional belum mampu
berfungsi menunjang tumbuhnya bangsa yang berkarakter? Selama masalah
pendidikan dibiarkan mengelinding bebas, sehingga siapapun boleh dan berhak
mengulas masalah pendidikan dengan versinya masing-masing tanpa landasan
falsafah yang memadai, maka potret pendidikan kita akan semakin carut-marut.
Itulah sebabnya maka kajian tentang pandangan tokoh pendidikan kita (Ki Hadjar
Dewantara) terhadap persoalan pendidikan karakter menjadi sesuatu yang penting
untuk ditelaah. Pandangan Ki Hadjar Dewantara yang akan ditelaah dalam artikel
ini meliputi; tri pusat pendidikan karakter, teori Trikon sebagai rujukan
pendidikan karakter, asas dan dasar pendidikan karakter, sistem pendidikan
karakter, dan corak & cara pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik
mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta
didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui
pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai
standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan
diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: religius,
jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial,
peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Ki
Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter.
Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budipekerti yang
baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid)
dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang
akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis,
murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis
Luhur Persatuan Tamansiswa: 1977: 24).
Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa;
Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup
tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh
lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab
kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12). Sedang yang dimaksud adab kemanusiaan
adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang
selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter
seseorang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi.
Dengan demikian pendidikan yang dimaksud oleh Ki
Hadjar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya
sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge,
tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai (transformation
of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembetukan karakter
manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Pendidikan Karakter melalui Tri Pusat Pendidikan
Dalam proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hadjar
Dewantara memandang adanya tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar.
Semua ini disebut “Tripusat Pendidikan”. Tripusat Pendidikan mengakui adanya
pusat-pusat pendidikan yaitu; 1) Pendidikan di lingkungan keluarga, 2)
Pendidikan di lingkungan perguruan, dan 3) Pendidikan di lingkungan
kemasyarakatan atau alam pemuda. Tripusat Pendidikan ini besar pengaruhnya
terhadap pembentukan karakter seseorang.
Alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan
terpenting. Sejak timbul adab kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga selalu
mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti atau karakter dari tiap-tiap manusia.
Alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa berkewajiban
mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu
pengetahuan (balai-wiyata). Alam kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan
kancah pemuda untuk beraktivitas dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi
dirinya.
Ketiga lingkungan pendidikan
tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya, sehingga tidak bisa
dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk
memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan. Hubungan
sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga
berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati,
agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pamong sebagai
pimpinan harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing
ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh,
berada di tengah memberi semangat, berada di depan menjadi teladan.
Teori Trikon sebagai rujukan
pendidikan karakter
Selain tripusat pendidikan
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan ajaran Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon
merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur yaitu
kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
a.
Dasar Kontinuitas
Dasar kontinuitas berarti
bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya continue,
bersambung tak putus-putus. Dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan, garis
hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu
bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putus dari garis asalnya.
Loncatan putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah
lanjutan dari garis hidup asalnya, yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai
baru dari perkembangan sendiri maupun dari luar. Jadi kontinuitas dapat
diartikan bahwa dalam mengembangkan dan membina karakter bangsa harus merupakan
kelanjutan dari budaya sendiri.
b.
Dasar Konsentris
Dasar konsentris berarti
bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, namun kritis dan
selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya unsur-unsur yang
dapat memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan saja yang dapat diambil dan
diterima, setelah dicerna dan disesuaikan dengan kepribadian bangsa. Hal ini
merekomendasikan bahwa pembentukan karakter harus berakar pada budaya bangsa,
meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar yang baik
dan selaras dengan budaya bangsa.
c.
Dasar Konvergensi
Dasar konvergensi mempunyai
arti bahwa dalam membina karakter bangsa, bersama-sama bangsa lain diusahakan
terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan umat sedunia (konvergen),
tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa masing-masing. Kekhususan
kebudayaan bangsa Indonesia tidak harus ditiadakan, demi membangun kebudayaan
dunia.
Dalam mengembangkan karakter
dan membina kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas)
menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus
memiliki dan membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia
(konsentrisitas). Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang
masuk, harus bersikap terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak
menghilangkan identitas sendiri.
Sistem Pendidikan
Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara
menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan
anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, maka setiap pamong
sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa
sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani (MLPTS,
1992: 19-20).
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti
di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan.
Sedangkan tuladha berarti memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad
Said Reksohadiprodjo, 1989: 47). Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung
makna, sebagai among atau pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan
berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan
sebagai “central figure” bagi siswa.
b. Ing Madya Mangun Karsa
Mangun karsa berarti
membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan
umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di
tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara
harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa
pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat,
hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna
mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.
c. Tutwuri Handayani
Tutwuri berarti
mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab
berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative,
possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang.
Sedangkan handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan
perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan
pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya.
Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara
juga merupakan warisan luhur yang patut diimplementasikan dalam perwujudan
masyarakat yang berkarakter. Jika para pendidik sadar bahwa keteladanan adalah
upaya nyata dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter, semua kita tentu akan
terus mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatan. Sebab
dengan keteladanan itu maka karakter religius, jujur, toleran, disiplin, kerja
keras, cinta damai, peduli sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang
dengan baik.
Begitu pula jika kita sadar bahwa berkembangnya
karakter peserta didik memerlukan dorongan dan arahan pendidik, sebagai
pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi motivator yang baik. Sebab
dengan dorongan dan arahan pendidik maka karakter kreatif, mandiri, menghargi
prestasi, dan pemberani peserta didik akan terbentuk dengan baik.
Corak dan Cara Pendidikan
Corak dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar
Dewantara patut kita jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan
karakter. Corak pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat
nasional. Artinya secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan
tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku,
ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter
anak bangsanya. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik fisik
sebagai akibat banyaknya perbedaan.
Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya
sebagai “peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu
amat banyak, tetapi terdapat beberapa cara yng patut diperhatikan, yaitu
a. Memberi contoh (voorbeelt)
b. Pembiasaan (pakulinan,
gewoontevorming)
c. Pengajaran (wulang-wuruk)
d. Laku (zelfbeheersching)
e. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa)
(Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1977: 28).
Cara pendidikan yang disebutkan di atas sangatlah
tepat untuk membangun karakter anak bangsa. Pemberian contoh yang disertai
dengan pembiasaan sangatlah tepat untuk menanamkan karakter pada peserta didik.
Begitu juga pengajaran (wulang-wuruk) yang disertai contoh tindakan
(laku) akan mempermudah peserta didik dalam menginternalisasi nilai-nilai
positif, sebagai bentuk perwujudan karakter. Apalagi disempurnakan dengan
pengalaman lahir dan batin maka menjadi sempurnalah karakter peserta didik.